[Cerpen] The Last Present

19.16
http://google.com/imghp


Tak pernah terbayang olehku, perjuangan seorang ayah yang selalu membimbingku sejak aku kecil.
dia yang mengasuhku, membesarkanku, mendidikku menjadi pribadi yang mampu memberi kepada sesama.

"pak, minta sumbangannya pak. saya belum makan tiga hari pak."
seseorang dengan baju kumuh, compang-camping, dan dekil menghampiri ayahku dan menyodorkan tangannya seperti mengharap sesuatu.

ayah yang sedang melamun di dalam becaknya, berdiri dan merogoh sesuatu dari saku. kemudian memberikannya kepada orang itu.

"yah, kenapa kita harus memberi uang kepada yang miskin? sedangkan kita juga termasuk orang-orang miskin?"
"siapa yang mengatakan itu?"
"teman-temanku." aku menunduk, mengingat semua kata-kata yang mereka lontarkan kepadaku. kata-kata mereka yang menghina profesi ayahku.

ayah mengelus kepalaku, membuka mulutnya dan mengatakan sesuatu. "kita memang miskin nak, tapi diluar sana. masih ada orang yang jauh lebih miskin daripada kita."

aku hanya mengangguk meskipun aku tidak setuju.
"kelak kau akan mengerti saat kau dewasa nanti. jika ada orang yang lebih membutuhkan atau meminta bantuan, bantulah dia semampu kita. jika kita sudah berusaha tetapi tidak mampu, meminta maaflah."

kemudian keesokan harinya, pengemis itu datang lagi kepada ayahku. ayah memberikan dia uang secukupnya.
keesokan harinya, ia datang lagi. hampir setiap hari ia datang menemui ayah, padahal aku tahu ayah juga membutuhkan uang. tapi ayah selalu memberikannya kepada pengemis itu.

sepulang bekerja, ayah tidak pernah makan. ayah selalu menyiapkan makanan untukku, tapi tidak untuk dirinya.
"ayah sedang tidak lapar nak, makanlah. makan yang banyak agar kau cepat tumbuh."
seringkali ia mengatakan hal itu, membuatku merasa bahwa dunia ini tidaklah adil.

Ibu sudah tiada sejak kelahiranku, aku hanya tinggal bersama ayah. aku tak pernah tahu bagaimana rasanya memiliki seorang ibu, yang kutahu hanyalah bagaimana rasanya hidup bersama ayah.

hingga suatu hari, saat umurku yang ke delapan belas. ayahku jatuh sakit, aku mengobati dia semampuku. namun itu tak cukup, penyakit ayah semakin parah. bahkan sampai muntah darah.

"yah, kemarilah. kita ke dokter sekarang juga."
"tidak nak, sudah cukup. jika kita ke dokter, maka kamu tak bisa makan. sudahlah, nanti juga penyakit ayah hilang sendiri."
"tidak yah, kita harus ke dokter sekarang juga."

aku menggendong ayah, menaruhnya didalam becak. ku kayuh becak sekuat tenaga, demi mengantarkan ayah ke dokter dan berharap ia dapat segera sembuh.

"maaf dek, kami tidak bisa melakukan pemeriksaan sebelum adek melunasi biaya administrasinya."
begitulah yang dikatakan dokter, tak ingin putus asa. aku menaruh ayah kedalam becak dan mengayuh becak sekuat tenaga, mencari dokter lain yang bersedia memeriksa penyakit ayahku.

diperjalanan, ayah mulai terlihat lemah, letih, dan tertidur. aku berhenti sejenak untuk melihat kondisi ayahku, seluruh tubuhnya sangat panas. nafasnya semakin melemah, detak jantungnya semakin pelan.

"yah, jangan pergi! jangan pergi ayah! ayah! ayah bangun yah!" aku menggoyang-goyangkan tubuh ayah, dan tanpa kusadari air mata mengalir di pipiku.

ku letakkan ibu jari untuk mengecek denyut nadi ayah, semakin melemah dan semakin hilang.
aku putus asa, ku kayuh becak menuju rumah kami yang kumuh dan tak terawat. ku letakkan ayah ditempat tidurnya, semua tetangga menghampiri dan turut berbela sungkawa atas kematian ayah.

air mata ini tak henti-hentinya mengalir, hingga proses pemakaman ayah pun berlangsung.
disaat semua orang pergi, aku hanya sendirian. memeluk batu nisan sang pahlawan, pahlawan yang telah mengabdikan seluruh perjuangannya untuk menghidupi anaknya seorang diri.

tiba-tiba seseorang menghampiri, memakai pakaian formal dan jas hitam. ia ingin menyampaikan sesuatu padaku.
"dek, ini adalah hadiah terakhir dari ayahmu. dulu ayahmu selalu memberiku uang untuk makan, hari demi hari. hingga aku bisa membeli makan sendiri. ini adalah hadiah terakhir yang dititipkan ayahmu kepadaku."

kubuka kado yang diberikan seseorang tersebut, hanya ada sepucuk kertas didalamnya. bertuliskan surat wasiat dan surat yang ditulis tangan oleh ayahku sendiri.

"nak, ayah minta maaf jika selama ini ayah tidak bisa menyekolahkanmu dengan layak. ayah tau ayah miskin, ayah sadar bahwa ayah tidak pantas menjadi orang tuamu. ini adalah hadiah terakhir dari ayah, jangan pernah meremehkan siapapun. termasuk orang yang ada di depanmu, karena dialah yang akan menjadi orang tua baru untukmu."

* Selesai * 



merupakan salah satu penulis yang berkontribusi di blog Cerdiska ini.

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

1 komentar:

Write komentar