00.30 0

RESENSI FILM GOOD WILL HUNTING
Oleh: Anas Farihin
(20161770042)
 




Judul Film                             :   Good Will Hunting
Sutradara                               :   Gus Van Sant
Produser                                :   Lawrence Bender
Penulis Skenario                   :   Affleck dan Damon
Cerita berdasarkan                :   Kisah nyata
Pemeran                                :   Robin Williams, Matt Damon, Ben Affleck, Minnie Driver, Stellan
Penyunting Musik                :   James Horner
Studio                                   :   Be Gentlemen Company
Distributor                            :   Miramax Film
Tanggal Rilis                        :   5 Desember 1997 (USA)
Durasi                                  :   126 menit

Sinopsis :
                Suatu ketika, Prof. Gerald Lambeau memberikan tantangan kepada para mahasiswanya di Universitas Harvard untuk menyelesaikan persoalan matriks yang sangat rumit yang ditulisnya di papan dinding, di samping kelas. Lalu keesokan harinya, ia menemukan tulisan penyelesaian soal tersebut di papan dan terkejut karena hasilnya benar. Sang dosen bertanya-tanya siapa yang menyelesaikan soal tersebut, namun tidak satu pun mahasiswanya mengaku telah mengerjakannya. Di hari kedua, soal yang lebih sulit tertulis di papan untuk diselesaikan mahasiswa. Kemudian, di saat kampus telah sepi, tak satu pun mahasiswa dapat menyelesaikannya. Akan tetapi, sang dosen dan asistennya yang baru saja keluar dari kelas menemukan seorang lelaki berseragam cleaning service sedang mencoret-coret papan soal tersebut. Dosen itu pun marah dan segera mengejar petugas kebersihan yang kemudian menghilang dan melarikan diri. Ia pun kembali ke depan papan soal dan bersama asistennya melihat coretan apa yang telah ditulis si petugas kebersihan. Rupanya lelaki yang berhasil kabur tersebut bukan mencoret papan soal asal-asalan, akan tetapi dialah yang menyelesaikan soal-soal matematika yang tercantum itu. Dan ajaibnya, semua jawabannya benar.
                Petugas kebersihan itu bernama Will Hunting. Ia bukanlah seorang mahasiswa, matematikawan, ataupun dosen matematika. Tetapi, dia bisa menyelesaikan soal matematika paling sulit di universitas Harvard dengan cepat dan tepat. Butuh 2 tahun bagi fakultas untuk mencari penyelesaian soal matematika tersebut, namun Will Hunting hanya butuh 2 menit untuk berhasil menemukan jawaban yang tepat untuk soalnya. Pertanyaannya, mengapa seorang jenius seperti Will berakhir menjadi seorang tukang sapu Universitas?
                Will Hunting adalah lelaki berusia 20 tahun yang tidak suka dengan kehidupan perkuliahan. Ia jauh lebih pintar dari mahasiswa-bahkan dosen-karena memiliki tingkat kecerdasan di atas rata-rata. Namun kecerdasannya itu tidak digunakannya dengan baik. Ia lebih memilih hidup seperti berandalan bersama teman-temannya. Menghabiskan waktunya yang tak berguna di bar, menonton pertandingan olahraga, dan terlibat perkelahian antar teman masa kecil. Gaya bahasanya pun kasar dan sering diikuti sumpah serapah.
                Karena terlibat perkelahian, Will diancam pidana penjara. Ia terselamatkan oleh Prof. Gerald yang bersedia membimbingnya menjadi pribadi lebih baik. Ia bermaksud menjadikan Will seorang matematikawan karena kejeniusannya itu dan menyuruhnya untuk melakukan beberapa sesi terapi. Pada awalnya, Will menolak. Namun, karena tidak ingin dijebloskan di penjara, ia pun mengikuti permintaan Prof. Gerald.
                Dua orang konselor gagal ketika melakukan konseling terhadapnya. Will dengan sengaja membuat konselor marah karena pada dasarnya ia tidak mau menjalani sesi konseling. Namun, Sean Macguire, konselor ketiga menggunakan cara yang berbeda dari psikiater yang lain. Ia menggunakan pendekatan Humanistik dan Eksistensial untuk menangani klien yang agresif seperti Will Hunting.
                Setelah beberapa sesi konseling, Will Hunting akhirnya mau menceritakan masa lalunya yang kelam kepada Sean. Hal-hal yang menyebabkannya sulit memercayai orang-orang, bersikap kasar terhadap orang-orang, bahkan juga kepada teman kencannya sendiri.

Analisis patologi tokoh utama
Will Hunting merupakan pribadi yang antisosial, karena memiliki perilaku sebagai berikut:
-          Rasa rendah bersosialisasi, seperti suka berkelahi dan sering menggunakan kata-kata kasar (fuck).
-          Kecerdasannya pun di atas rata-rata.
-          Ketidaktulusan. Ketidakmampuan menjalani cinta sejati; mudah putus dengan pacar hanya karena masalalunya diungkit-ungkit.
-          Tidak ada rasa malu dan menyesal atas perilaku kasarnya.
-          Tidak memiliki emosi yang mendalam, karena takut tersakiti.
-          Tidak memiliki rencana hidup. Dia tidak tahu apa yang benar-benar diinginkannya meski telah berkali-kali ditanya oleh Sean. Will sadar dia jenius. Namun, ia lebih memilih menjalani kehidupan sebagai petugas kebersihan atau pekerja proyek daripada harus menjadi ilmuwan ataupun aktifis pendidikan.

Metode terapi pada tokoh utama
-          Terapis/konselor pertama: gagal ketika mewawancarai Will, karena menahan malu akibat dipermalukan Will. Ia dituduh seorang gay yang menggoda Will secara blak-blakan.
-          Terapis/konselor kedua: gagal karena Will tidak mau menjalani hipnoterapi. Ia mempermainkan sang terapis dengan berpura-pura tidur-terhipnotis.
-          Terapis/konselor ketiga: berhasil membuat Will meluapkan emosi yang dipendamnya dengan metode terapi: Client Centered Therapy.

Client Centered Therapy
Client Centered Therapy sering pula dikenal sebagai terapi non-direktif atau berpusat pada pribadi. Pendekatan konseling client centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian,dan hakekat kecemasan.
                Peran konselor ketiga dalam model pendekatan konseling client centered adalah :
1.       Konselor memberi kebebasan pada klien untuk mengekspresikan perasaan-perasaan sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya dengan cara:
-          Menyuruh dosen dan asistennya keluar ruangan agar Will bisa lebih leluasa bercerita. Konselor juga melakukan basa-basi pada Will untuk mendapatkan rapot dengannya (sesi pertama).
2.   Konselor tidak memimpin, mengatur atau menentukan proses perkembangan konseling, tetapi hal tersebut dilakukan oleh klien itu sendiri. Itulah mengapa konselor ketiga tidak menyerah hanya karena dibuat marah oleh Will dalam sesi pertama. Bahkan di dalam sesi ketiga, Will dan Sean hanya diam seribu kata sampai sesi konseling berakhir. Jika Will tak mau bicara, maka Sean juga tak mau bicara. Kemudian di sesi keempat, akhirnya Will pun mau memulai percakapan dengan sebuah cerita lelucon. Sean dan Will pun saling bertukar pikiran mengenai sebuah hubungan percintaan. Will mungkin tidak mau pergi berkencan untuk kedua kalinya karena takut disakiti. Namun, Sean yang sempat merasa kehilangan istri di masa lalu tidak menyesali sedikit pun hubungannya dengan istrinya, meski rasa kehilangan membuat hatinya pilu.

3.       Konselor merefleksikan perasaan-perasaan klien, sedangkan arah pembicaraan ditentukan oleh klien. Untuk hal itu, pada sesi kedua, konselor mengajak Will mengobrol di tempat terbuka. Konselor menjelaskan mengapa ia marah karena perkataan Will di sesi pertama dan bagaimana ia mereduksi kemarahannya itu dengan intropeksi diri, serta bagaimana ia bisa membuat dirinya berdamai dengan rasa kehilangan istrinya di masa lalu. Pada sesi ini, konselor hanya fokus membicarakan tentang dirinya sendiri untuk menstimulus Will agar bisa membuka hatinya untuk membicarakan masa lalunya juga. Konselor akan lebih mudah untuk merefleksikan perasaan Will jika dirinya mau sedikit terbuka. Saat Will mulai terbuka, pada sesi keempat, Sean membantu Will untuk merefleksikan apa yang dirasakannya tentang pacarnya. Sehingga Will mulai berani untuk menjalani hubungan lebih serius dengan pacarnya, mengajaknya berkencan untuk yang kedua kalinya. Pada sesi kelima, Will penasaran dengan perasaan Sean tentang istrinya. Ya, Sean memang merasa sakit ditinggal istri, namun tak pernah menyesal karena bertemu dengan istrinya. Ia sangat senang menjalani hari-hari penuh kenangan indah bersama istrinya dulu.

4.       Konselor menerima klien dengan sepenuhnya dalam keadaan seperti apapun. Entah Will marah-marah, membentak, diam, bicara, Sean tidak mau menyerah sebelum Will mengungkapkan apa yang sedang dirasakannya.

5.       Dalam sesi terakhir, terungkap sudah bahwa penyebab Will menjadi antisosial dan menutup diri adalah karena di masa lalu, ayah angkatnya seringkali memukul dia dengan kunci Inggris. Ia menjadi tidak percaya pada kebanyakan orang dan tak mau menjalani hubungan lebih dalam dengan pacarnya karena takut disakiti lagi. Will pun menangis dan berakhir dalam pelukan Sean sampai dia memutuskan untuk move on. Ia memutuskan untuk melamar pekerjaan sesuai kemampuannya yang jenius, tetapi di hari dia mendapat panggilan wawancara, Will memilih untuk menemui (mantan) pacarnya dan memperbaiki hubungan mereka yang telah rusak.



00.27 0

RESENSI FILM A BEAUTIFUL MIND
Oleh: Anas Farihin
(20161770042)

 

Judul Film                             :   A Beautiful Mind
Sutradara                               :   Ron Howard
Produser                                :   Brian Grazer, Ron Howard
Penulis Skenario                    :   Akiva Goldsman
Cerita berdasarkan                :   Kehidupan John Nash
Pemeran                                :   Russell Crowe, Jennifer Connelly, Ed Haris, Paul Bettany
Penyunting Musik                 :   James Horner
Studio                                    :   Dreamworks Pictures, Universal Pictures
Distributor                             :   Universal Entertainment
Tanggal Rilis                         :   13 Desember 2001
Durasi                                   :   135 menit

Sinopsis :
                John Nash adalah seorang pria yang memiliki gejala psikosis dan sering mengalami halusinasi. Ia juga merupakan seorang matematikawan jenius yang membuatnya mendapat beasiswa untuk bersekolah di universitas bergengsi, Princeton University. John Nash adalah lelaki sederhan yang suka menyendiri, pemalu, rendah diri, introvert sekaligus aneh. Dia tidak suka dengan orang banyak dan kerapkali merasa bahwa orang-orang tidak menyukainya. Ia merasa bahwa kuliah dan bertemu dengan banyak orang adalah hal yang membosankan. Itu sebabnya dia lebih suka memilih menarik diri dari lingkungan sosial dan memecahkan permasalahan-permasalahan matematika seorang diri daripada harus mengikuti perkuliahan. Atau bisa disebut juga ia adalah seorang mahasiswa yang sombong. Menurutnya, perkuliahan akan menjumpulkan pikiran dan kreativitas seseorang. Ia pun sulit untuk mengaku kalah saat bermain (igo) dengan teman kuliahnya, Martin.
                Di tengah persaingan ketat, Nash mendapat teman sekamar yang sangat memakluminya, Charles Herman yang memiliki keponakan seorang gadis cilik, Marcee. Nash yang amat terobsesi dengan matematika-sampai-sampai menulis berbagai rumus di kaca jendela kamar dan perpustakaanakhirnya secara tak sengaja berhasil menemukan konsep baru yang bertentangan dengan teori bapak ekonomi modern dunia, Adam Smith. Ia menemukan konsep itu saat sedang bersama teman-temannya di sebuah bar dan melihat seorang gadis berambut pirang. Kalau kita semua menghampiri si pirang, kita akan menghalangi satu sama lain. Tak ada satu pun dari kita yang akan mendapatkannya. Jadi, kalau kita menghampiri teman-temannya, mereka semua akan memberi penolakan karena tidak ada yang suka untuk menjadi pilihan kedua. Bagaimana jika tidak ada yang menghampiri si pirang? Kita tidak akan menghalangi satu sama lain dan tidak menghina gadis-gadis lain. Itulah satu-satunya cara kita “menang”. Konsep inilah yang dinamakannya dengan teori keseimbangan, yang mengantarkannya meraih gelar doktor. Mimpi Nash menjadi kenyataan. Tak hanya meraih gelar doktor, ia berhasil diterima sebagai peneliti dan pengajar di MIT.
                Hidup Nash mulai berubah ketika ia diminta Pentagon memecahkan kode rahasia yang dikirim tentara Sovyet. Di sana, ia bertemu agen rahasia William Parcher. Dari agen rahasia ini, ia diberi pekerjaan sebagai mata-mata. Pekerjaan barunya ini membuat Nash terobsesi sampai ia lupa waktu dan hidup di dunianya sendiri.
                Suatu ketika, John Nash jatuh cinta dengan mahasiswinya yang cantik jelita, Alicia, lalu menikahinya. Membuatnya ingin resign dari pekerjaannya tersebut karena menyadari bahwa tugas seorang mata-mata mulai semakin berbahaya untuk dirinya sendiri maupun keluarga barunya. Namun, kontrak kerja membuatnya tak bisa berhenti dari pekerjaannya tersebut. Ia pun semakin hari semakin dirundung rasa ketakutan yang sangat. Sampai akhirnya ketika ia sedang membawakan makalahnya di sebuah seminar di Harvard, Dr Rosen seorang ahli jiwa menangkap dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Dari situlah terungkap, Nash mengidap gangguan mental schizophrenia. Beberapa kejadian yang dialami Nash selama ini hanya khayalan belaka. Tak pernah ada teman sekamar, Charlaes Herman dan keponakannya yang menggemaskan, Marcee, ataupun Parcher dengan proyek rahasianya.
                Untungnya, Alicia adalah seorang istri setia yang tak pernah lelah memberi semangat pada suaminya. Ia selalu mendorong sang suami untuk meminum obat dari psikiater secara teratur. Dengan dorongan semangat serta cinta kasih yang tak pernah habis dari Alicia, John Nash bangkit dan berjuang melawan penyakitnya. Saat berhenti minum obat, gejala psikotiknya kambuh. Menyebabkannya mengalami halusinasi dan delusi tentang kehidupan mata-mata sehingga ia menyakiti istri dan anak bayinya dengan alasan melindungi keluarganya dari musuh. Namun Alicia tidak patah semangat dan mendorong suaminya untuk berkonsultasi dengan psikiater sampai ia sembuh. Dan pada akhirnya, John Nash berhasil memenangkan sebuah nobel penghargaan setelah perjuangan kerasnya melawan halusinasi yang dialami.

Analisis patologi tokoh utama menurut paradigma psikoanalisa :
                Psikoanalisis adalah cabang ilmu yang dikembangkan oleh Sigmund Freud (1856-1939) dan para pengikutnya, sebagai studi fungsi dan perilaku psikologis manusia. Asumsi utama paradigma psikoanalisis atau psikodinamika, yang dikembangkan oleh Sigmund Freud adalah bahwa psikopatologi diakibatkan oleh konflik-konflik yang tidak disadari dalam individu. Jadi, menurut paradigma psikoanalisa, penyakit skizofrenia yang dialami karakter utama, John Nash, diakibatkan oleh konflik-konflik di alam bawah sadarnya.
                Stresor yang dialami Nash diantaranya adalah:
-          Merasa dirinya mendapat penolakan dari orang-orang
-          Merasa dirinya tidak disukai oleh orang-orang
-          Tekanan dari dosen untuk segera menyelesaikan tugasnya
                Di dalam film diceritakan bahwa dr. Rosen, memvonis Nash menderita skizofrenia, alurnya terjadi setelah Nash menjadi profesor. Setelah ia mengalami konflik-konflik batin perihal perjuangannya menuntaskan tugas-tugas kuliah. Artinya, bisa jadi faktor penyebabnya menderita skizofrrenia adalah tugas kuliah yang amatlah berat. Akan tetapi, Charles, sahabat halusinasinya sudah muncul sebelum dosen menekannya untuk segera menyelesaikan tugas kuliah. Jika halusinasi ini memang merupakan gejala skizofrenia, maka penyebab penyakit kejiwaan Nash bukanlah karena tugas kuliah yang menumpuk. Tetapi, karena faktor lain yang tidak diceritakan di dalam film. Apappun itu, paradigma psikoanalisis akan mengatakan bahwa skizofrenia yang dialami tokoh utama berasal dari konflik bawah sadarnya.
               
Kecemasan Neurotik
                Saat seseorang hidupnya berada dalam bahaya, maka dia akan mengalami kecemasan objektif (objective anxiety) atau kecemasan realistik, terhadap bahaya di dunia luar, yang merupakan suatu reaksi dari ego. Ego berdiri di tengah-tengah kekuatan dahsyat kebutuhan biologis (Id) dan norma (Super Ego). Ketika terjadi konflik di antara kekuatan-kekuatan ini, ego merasa terjepit dan terancam, serta merasa seolah-olah akan lenyap dan tidak berdaya digilas kedua kekuatan tersebut. Perasaan terjepit dan terancam ini disebut kecemasan (anxiety), sebagai tanda bagi ego bahwa sedang berada dalam bahaya dan berusaha tetap bertahan.
                Pada awal scene diceritakan bahwa konflik batin yang dialami Nash adalah perihal tugas kuliah. Sementara teman-teman kampusnya telah menerbitkan naskah mereka, Nash sendiri malah hanya mempunyai sebuah ide yang belum terealisasikan menjadi tulisan-tulisan yang nyata. Kecemasannya membuat Nash tertekan dan membenturkan kepala ke tembok. Itu adalah kecemasan yang nyata, objektif. Semua mahasiswa pasti akan cemas jika dosen menegurnya karena belum menyelesaikan tugas. Berbeda dengan kecemasan saat berkumpul bersama orang-orang. Nash memilih menyendiri untuk menghindari perasaan cemas karena merasa tidak disukai oleh mereka. Hal ini merupakan rasa takut yang tidak realistis dan tidak ada kaitannya dengan ancaman dari luar diri. Orang-orang bukan tidak menyukainya. Nash sendiri lah yang beranggapan bahwa mereka benci padanya. Kecemasan ini disebut kecemasan neurotik.

Mekanisme Pertahanan
Mekanisme Pertahanan Diri disebut juga Defense Mechanism, merupakan salah satu coping terhadap kecemasan. Beberapa mekanisme pertahanan ego dalam ketidaksadaran tokoh utama di antaranya adalah sebagai berikut:
-          Represi: seseorang berusaha sekuat mungkin untuk melupakan dorongan yang harus dipuaskan sebagai sesuatu yang tidak pernah ada. Ia menjauhkan impuls atau harapan yang didapat dari kesadaran. Seperti halnya ketika Parcher menyuruhnya untuk kembali menjadi mata-mata. Sebenarnya, dia sadar bahwa Parcher adalah halusinasi, sebagaimana yang dikatakan dr. Rosen, akan tetapi dia melupakannya seketika itu.
-          Pengingkaran: Individu menolak sejumlah aspek kenyataan yang membangkitkan kecemasan, menjauhkan kejadian-kejadian negatif dari kesadaran. Hal ini sangatlah berguna dalam proses penyembuhan kejiwaan Nash. Diceritakan bahwa sumber ketakutan terbesarnya adalah halusinasi. Jika Nash bisa menyangkal halusinasinya itu, ia tidak akan diliputi rasa takut akan teroris atau semacamnya.
-          Proyeksi: Mengatribusikan kepada orang lain pikiran atau perasaannya sendiri. John Nash sering mengatakan bahwa orang-orang tidak menyukainya, padahal dia sendiri yang tidak menyukai mereka.
-          Displacement: Mengalihkan perasaan dari sasaran sebenarnya ke orang/benda lain. Charles Herman dan keponakannya, Marcee, merupakan displacement dari perasaan kesepiannnya. Hanya karena kalah dari bermain igo dengan charles, ia menyalahkan permainannya. Padahal yang salah adalah dirinya sendiri yang tidak memiliki taktik yang lebih unggul dari lawan main.
-          Rasionalisasi: Memberikan penjelasan yang dapat diterima secara sosial yang bukan merupakan alasan sebenarnya dari perilakunya. Dia mengatakan bahwa kuliah dapat  menumpulkan kreativitas, padahal hanya alasannya saja. Sebenarnya dia hanya tidak suka bersosialisasi dengan teman-temannya.
-          Pembentukan Reaksi (Reaction Formation): Harapan atau impuls yang tidak dapat diterima diubah menjadi sebaliknya. Saat bosan meminum obat, istrinya akan memarahinya. Namun, dia menunjukkan ekspresi akan meminumnya saat di hadapan istrinya saja. Kenyataannya, dia tidak mau meminumnya dan menyembunyikan antipsikotiknya ke dalam laci.
-          Sublimasi: Impuls agresif atau seksual diubah menjadi perilaku prososial. Ia mengubah impuls agresif akibat halusinasi teroris-Rusia menjadi perilaku prososial, sehingga ia bisa kembali mengajar dan akhirnya mendapatkan penghargaan nobel.

Serdadu Cinta 3 : New Activity

15.38 1


Setelah ngambil ijazah, gue berencana buat bekerja di sebuah perusahaan. namun nyokap gue nyuruh gue untuk ngambil kuliah aja, sebagai anak tentunya gue mempertimbangkan kata-kata nyokap gue yang menginginkan gue menjadi seorang yang berpendidikan tinggi.

sejujurnya gue nggak begitu peduli sama pendidikan atau kuliah. Namun, keinginan orang tua nggak bisa gue abaikan begitu saja. karena siapa tahu keinginan mereka dapat membawa nasib baik bagi hidup gue.
gue sadar selama ini gue udah sering nyakitin orang tua, udah sering bikin orang tua susah payah mencari nafkah demi menghidupi gue. karena itu, bagi gue kebahagiaan mereka adalah kebahagiaan gue juga.

mereka mendaftarkan gue di sebuah universitas swasta di daerah sini, Arin juga lebih memilih kuliah dahulu untuk dapat memperbaiki nasib di masa depan nanti bersama gue.
gue sama Arin satu kampus, hanya berbeda jurusan. gue ngambil jurusan TI sementara Arin ngambil jurusan Psikologi.

setiap berangkat ngampus kita selalu bersama-sama. berbeda dengan pada saat SMA, kita memiliki banyak sahabat yang mendukung kita atau menemani kita. di kampus ini, kita hanya berdua karena sebagian besar mereka lebih memilih bekerja demi turut membantu keuangan keluarga. sebagian lainnya ada yang merantau jauh untuk belajar hidup mandiri.

"Hoi Med, apakabar?"
"baik, lo gimana fer? kemana aje lo?"
"gue kerja di daerah sono, nggak jauh-jauh amat sih dari kota ini."

Ferdi menghampiri gue dan Arin yang sedang berduaan di taman dekat kampus. seperti biasa, dia selalu menggembor-gemborkan hubungan gue sama Arin.
kita pun ngobrol bersama untuk waktu yang cukup lama, hingga Ferdi pamit pulang dan melanjutkan pekerjaannya disana.

"sayang~ aku mau pergi sama temen-temenku dulu ya."
"pergi kemana? aku anterin."
"engga usah, mereka ada di toko depan sana. dah yaa, bay bay."

Arin melambaikan tangannya, meninggalkan gue yang duduk sendirian bersama Supra X kesayangan gue.
gue enggak begitu peduli, mungkin dia pergi sama temen-temen cewek nya yang baru kenal di kampus. jadi, gue memutuskan untuk pulang sendirian dan bermain game di rumah.

'ngring ngring' hape gue berbunyi tanda ada panggilan masuk.
"halo sayang~"
"maaf ini bukan Arin, ini gue cowoknya."

seketika, hati gue langsung panas. gue langsung emosi dan memuncak. selama ini gue nggak pernah ngusik urusan pribadi Arin, selama ini gue mempercayai dia. tapi ternyata dibelakang gue dia diam-diam berhubungan sama cowok lain.
tanpa meminta penjelasan, gue langsung tutup telponnya dan langsung on the way mencari Arin.

sesampainya disebuah restoran, gue melihat Arin sedang makan bersama seorang cowok yang nggak gue kenal. gue langsung menghampiri mereka, dan 'bugh!' gue langsung mukul cowok itu.
"woi?! jawab gue?! sejak kapan lo pacaran sama Arin hah?!"

'bugh!' gue kena pukul dibagian pipi kiri.
"udah-udah medi!"
"lo manggil gue medi?! mana panggilan sayangnya hah?!"

Arin langsung narik cowok itu dan berlalu pergi bersamanya. gue ngejar, tapi ditahan sama penjaga restoran tersebut.

*Bersambung*

Sisi Lain 5 : The First Person Infected

12.40 0


"halo, nama saya Toni. hmm.. anu, eng.."
"tak usah difikirkan, semuanya sudah disiapkan."

Dirga sudah mendapatkan calon relawan sesampainya di Pulau Jawa, meski baru beberapa orang tapi lebih dari cukup untuk sekedar percobaan.
"anda bersedia mengorbankan hidup anda demi uang?"
"ya, ya.. ehm.. saya bersedia. saya siap."
"alasan anda?"
"saya ingin membantu perekonomian keluarga saya."

sejujurnya Dirga merasa tidak enak dengan cara yang seperti ini, tapi Dirga yakin bahwa penelitiannya tidak ada kegagalan.

"Dirga! itu Dirga! hei semuanya! Dirga sudah kembali!" sorak Hanif.
"hai semuanya."
"kemana aja kamu dir? kita semua disini kehilangan kamu lho."
"ada deh."

disambut hangat oleh orang-orang di kampung halaman adalah hal yang tidak pernah dia rasakan, karena selama ini dia hanya mengabdikan hidupnya untuk belajar, belajar, dan belajar.

"eh, Giri mana?" hanya Syarif yang sedari tadi melihat Dirga dengan penuh kebingungan.
"eh iya, Giri mana?" Hanif pun mengikuti.
"maap semuanya, saya belum nemu Giri."

Dirga berbohong dengan ekspresi sedih. semuanya berkumpul dan mengadakan makan besar untuk menyambut kedatangan Dirga.
disela-sela pesta makan-makan, tiba-tiba seseorang muncul. menggunakan setelan metal, dan rambut punk yang di cat kuning kehijau-hijauan.

"woi! jatah gue mana!" 'brak!' Tora menggebrak
'buk!' Dirga langsung memukul Tora tanpa ragu-ragu, menendangnya, dan terus memukulinya hingga Tora menyerah dan meminta maaf.
orang-orang disekitar ingin menghentikan Dirga namun tak ada yang sanggup.

"Tora! elo dimana! jawab gue!!" Dirga berteriak didepan muka Tora yang sikapnya berubah drastis itu, menggenggam kerahnya dan menggoyang-goyangkannya dengan keras.
'brag!' tiba-tiba Tora yang lain itu menendang Dirga yang sedang mencengkeramnya.
"gue bukan Tora! Tora udah mati! gue Deni!"

akhirnya orang-orang memutuskan untuk menenangkan mereka berdua, dan menceritakan apa yang terjadi selama Dirga pergi.
"gak usah! gue udah tau semuanya. ini pasti ulah Giri!"
"Giri?! Maksud lu apa hah?! ngungkit-ngungkit orang yang udah mati!" Hanif langsung berdiri dan menggenggam kerah Dirga.

Dirga menenangkan Hanif dan menjelaskan kepada semuanya, Giri tidak mati. Giri saat ini sedang ada di suatu tempat yang entah dimana.
kejadiaannya saat di rumah kosong itu, Tora terinfeksi virus yang dibawa oleh Giri. sehingga kepribadiannya menjadi berubah seperti ini dan kemampuannya meningkat drastis dalam perkelahian.
karena itulah Tora yang saat ini bukanlah Tora yang mereka kenal.

Puisi Hitam

17.29 1



http://google.co.id

Otakku melepuh dalam antak terbelenggu
Yayi kukasih, kuharap rumput menyala di sumur madu
Kuterima darimu seribu tikam sembilu
Dan sekarang niagara mengering direngkuh kuasa mangu

Sang mentari melusuh berkabung sedan
Puing-puing nalar berdempipr terhantam
manis pipimu tak hentinya merayu menipu
Oon, aduh odoh hati penuhku berenang di kubangan

Kehidupanku merepih disamping tiadamu
Durjana tanah pekuburan lagi menarik diriku
Bukan perihal segala jalan kelamin di tangan siapa
Aku hanya belajar seni menggambar hawa
Diatas kesamsaraan, tanpa dinding ataupun pagar
Seperti kini, kugerogoti masa depan sendiri
Dan melamunkanmu adalah agama esa

                                                                                                                                          
Anas Farihin, Selasa, 26 Juni 2012